Wednesday, January 17, 2007

BICARA-BICARA TA………. !!

Ada banyak pendapat mengenai bagaimana seharusnya sebuah puisi ditulis, dalam pandangan yang paling konservatif, Chairil Anwar secara implisit mengatakan bahwa puisi adalah sesuatu yang besar agung, suci dan hanya orang yang mumpuni yang mampu membuat kata menjadi indah dan bermakna (puisi yang menjadi), maka dengan lantang Chairil mengatakan yang bukan penyair tidak ambil bagian. Tetapi puisi juga bukan hanya sekedar mengoreskan kata-kata yang indah tapi juga memanfaatkan unsur musikal di dalam kata-kata, komposisi bunyi, diksi, tipografi, tema. Kesemuanya itu tidak berdiri sendiri tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh, sehingga sebuah puisi yang menjadi akan bertahan lama tidak lekang ditelan jaman dan karatan digerogoti waktu. Sebuah puisi yang menjadi sering lebih dapat bertahan melawan waktu daripada sebuah bangunan candi atau istana yang dibangun atas ribuan keringat para kuli dan insiyur yang paling pakar sekalipun.

Seringkali peristiwa-peristiwa besar menjadi head line dari pemberitaan surat kabar, media elektronik. Tapi sebuah peristiwa besar hanya akan menjadi sebuah berita yang akhirnya akan lapuk ditelan waktu kalau hanya sekedar dituliskan dalam kata-kata berita saja. Maka seorang penyair yang menuliskan berita dalam bentuk puisi akan membuat berita bukan sekedar berita tetapi akan terus jadi berita sepanjang massa. Bahkan sebuah peristiwa kecil pun akan mampu disulap menjai berita sepanjang masa oleh seorang penyair. Taufik Ismail mengabadikan sebuah peristiwa yang biasa saja – dalam sajaknya Penjual Rambutan – tetapi ditangan seorang Taufik peristiwa biasa menjadi sesuatu yang langgeng sepanjang massa.

Berhadapan dengan sebuah kumpulan puisi kita akan selalu dihadapkan pada persoalan apakah puisi tersebut membawa sesuatu yang lain puisi yang sudah ada, apakah ada kredo yang baru dll. Hal seperti ini wajar dari sebuah pengharapan yang ideal bagi pembaca. Membaca kumpulan puisi A! ( ! Dibaca tanda seru) karya Elex SW, kita akan menemukan goresan kata-kata yang muntah begitu saja. Kata-kata mengalir seperti apa adanya yang terlintas dibenak penyair. Bagi Elex puisi adalah

Puisi adalah:

-Anu ! !

-Ya ! anu ! . . . .

-Anuku

-Anumu

-Anu mereka

(Puisi dan Penyair Adalah Hal. 41 )

Peristiwa yang lalu lalang di dalam perjalanan waktu, hempasan-hempasan hari yang dilewati lantas dikeluarkan begitu saja lewat goresn-goresan huruf menjadi kata. Seperti seorang pelukis, Elex memuncratkan begitu saja segala warna isi hati, senang, dendam, emosi letupan hati.

“Gores, gores, gores, gores/Dan crat, crot, cret.”//Crat, ta …….ng….”/ Muncrat semua birahi puisi/minggat ke langit//Tang !! …..// Crat, crot, cret !/Ek ….h…,uk…h…./ A..h..

(Tulis, Gores Hal. 16)

Era keterbukaan dan kebebasan memungkinkan siapa saja bisa menumpahkan uneg-unegnya. Termasuk Elex dengan kata-kata dan caci maki dalam puisinya secara vulgar

(Reformis Tai Kucing).

Hai reformis tai kucing

Suaramu bau ……tai kucing

Suaramu mirip…..tai kucing

Suaramu suara tai kucing

Dasar tai kucing !

Elex yang aku kenal dengan cerita sekian perjalanan dan tempat yang telah disinggahi dalam pengembaraannya, dalam puisi ya Tunas-Tunas Layu mencoba mengabarkan pada kita bagaimana kerasnya kehidupan di jalanan. Tercatat puisi yang dibuat tahun 1993 (1 puisi) tahun 1999-2004 (49 puisi) ditulis diberbagai kota (Kebumen, temanggung, Pondok Gede, Jakarta, Bekasi, Cikin, Cilegon, Magelang, Serang, Pandeglang, Banten) rentang waktu 6 tahun ini ada sekian kota yang telah disinggahi.

Tercatat pula dalam kumpulan puisi Elex....


Hendri Yetus Siswono

Direktur Siklusitu



SETELAH MEMBACA PUISI NYANYIAN KALA

Nyanyian Kala

kesepian yang mengulumku pada pagi

laksana angin bisu yang kelu

menghidangkan sunyi

dan menikam aku

dengan serta merta keresahan

kini siang menjadi petang yang tenggelam

mengadu waktu pada awan yang bergerak

inginkan duka membentang di dada

dan luka mengkoyak moyak ujung kalbu

saat aku lukiskan senja yang rapuh ini

jiwaku hanya bayangan kenangan

meraung kesakitan dan meredam resah

pada jalan

yang setiap jengkalnya

aku eja dengan terbata


Pertama kali saya membaca puisi-puisi Kozack saya hanya menangkap kesan yang biasa saja dari seorang anak muda usia 20-an yang puisinya berbicara tentang cinta remaja, perasaan sakit hati karena wanita, atau perasaan cinta yang meluap-luap. Tetapi ketika kemudian saya mengklasifikan bebarapa puisi yang saya anggap tidak cengeng dan berulangkali saya baca kembali puisi Kozack, langsung kesan itu hilang dengan cepat. Saya menangkap Kozack bukan hanya bersyair karena jatuh cinta atau di putus cinta seperti umumnya anak seusianya. Tetapi ada beberapa kegelisahan yang saya tangkap pada puisi. Entah tentang makna perjuangan, makna kemerdekaan, tentang kesendirian yang menyayat, tentang makna pahlawan, bahkan tentang kematian.

Apabila kita berhadapan dengan sebuah puisi otomatis dengan sendirinya akan muncul rasa ingin mengetahui apa isi puisi tersebut. Apakah apresiasi itu berupa bentuk pembacaan kembali, atau tanggapan berupa tulisan. Saya merasa kurang lengkap kalau hanya menanggapi puisi Kozack cuma dengan nyocot doang. Ada dua yang ingin saya coba omongkan di sini pertama dari bentuk fisik atau interinsik yaitu bangunan fisik puisi (baris, bait, rima, tipografi, bunyi) yang kedua dari bangunan mental atau ekstrinsik yaitu latar belakang puisi (ideologi tertentu, sosial, moral), tema, imaji, latar belakang penyair).

PERTAMA

Saya mulai dari bentuk bangunan fisik puisi ini : (baris bait, tipografi, rima, bunyi)

Dari bentuk fisiknya sekilas kita lihat puisi Nyanyian Kala tidak begitu menarik dan kurang menonjol, penggunaan tipografi yang biasa saja. Nampaknya dalam puisi Nyanyian Kala ini Kozack tidak begitu peduli dengan bentuk fisiknya. Padahal dalam pembuatan puisi bentuk tipografi paling tidak mewakili ide apa yang akan disampaikan oleh sang penyair. Misal suatu susunan tipografi yang rapi biasanya ide yang ingin disampaikan masalah ketenangan, kedamaian, atau suasanan senang. Begitu juga sebaliknya tipografi yang acak adul berantakan biasanya ingin menyampaikan suasana kacau, kesakitan, pemberontakan, kesenjangan, ketimpangan dll. Tipografi jelas diciptakan untuk menunjukkan sesuatu

Hendri Yetus Siswono
Direktur Siklusitu

Kok Begini Penyairku?

Baiklah tak perlu kiranya saya berlama-lama membuka catatan ini. saya membaca delapan puisi karya Apoet Duba. Lima puisi pendek dan tiga agal panjang. Delapan puisi, sebuah jumlah yang tak sedikit, tapi entah mengapa hanya sedikit yang mampir di kepala saya.

Sebagai pembaca dengan segudang ekspektasi di kepala, maklum saya sudah semester 12, saya tak mendapatkan apa-apa dari delapan puisi Apoet Duba. Sesuatu yang tak sehat sebenarnya karena yang saya kejar awalnay memang hanya impresi. Sebagaimana saya mengedarkan pandangan ke deretan kaset film di Video Ezy mencari film yang menarik entah karena judul, nama pemeran, atau tanda bintang empatyang menandakan bahwa film itu bagus. Tapi impresi awal yang saya cari dari sebuah puisi sebanarnya seragam, yakni ritme.

Kata-kata adalah ujaran pada akhirnya. Karena dia ujaran maka dia menjadi bunyi, dan bunyi adalah pembentuk ritme atau irama yang utama. Tradisi puisi Indonesia dibentuk oleh ritme ini, dengan sajak ab-ab atau aa-bb yang terkenal itu. Sebuah teknik yang menyiasati keterbatasan manusia karena tak berakarnya tradisi tulis di sini. Ketika sebuah sajak dikumandangkan maka ia lepas di udara, dan kita kemudian tak mudah lagi melacaknya. Maka sajak dibuat berirama bunyinya agar kepala lebih mudah mengingatnya.

Apoet tak memakai teknik kuno ini dalam sajaknya karena ia adalah anak zaman baru dengan tradisi puisi yang baru pula. Saya kutip satu sajaknya: “berbilang deru/ menyeru malam/ siapa yang pantas/ dimanja.” Tak ada rima dari zaman lampau itu. Dan tentu, tak fair jika membandingkan puisinya ke sana. Namun bukan hanya karena itu saya melihat ritme dari puisi. Ritme dapat tercipta-dan ini lebih mencekam- dari makna kata yang menjalin menjadi lirik, lalu menjadi baik dan akhirnya menjadi puisi. Tapi saya mohon maaf karena dengan konsep ini pun ritme itu tak tercipta.

Say curiga, bahkan sangat curiga, bahwa kata-kata tak sepenuhnya “tergenggam” oleh Apoet. Kata “seru” dalam puisi di atas adalah kata yang menjadi polpuler karena Chairil Anwar. Kata itu muncul dari kenyataan di zaman revolusi yang bergemuruh, tahun 40-an. Karenanya kata itu tergenggam erat oleh Chairil dan -;ewat ungkapan yang menjadi klise- menjadi hidup. lalu apa “deru” buat apoet? Dan mengapa pula Apoet memakai itu untuk membuat kontras bagi sebuah pertanyaan tentang “ siapa yang pantas dimanja?” ah, poet … saya tak menemukan ritme di situ.

Juga kata “setakar” di puisi dengan judul Kalut, dalam larik: …. menjelmalah aku/setakar kalut/yang tak jera-jera…” kata-kata ini epas dari ritme karena terdengar genit dan mengada-ada. Ia lepas, tak tergenggam, tak “dimiliki” penyairnya. Ia hanya kata yang asal palai karena sebuah aksi pencurian. Akan lebih berharga kalau dikatak “seporsi kalut”, atau apapun yang lebih pantas dan wajar. Kasusu ini juga mencolok pada sajak “kepada kawan” lewat kata-kata, menyekam, diraya, menyayat….

Ritme juga acak-acakan pada jalinan kalimat puisi “mampirlah”. Saya kutip kalimatnya: …kau sungguh akan senang/betapa pilunya aku …., dan betapa tulusnya aku/menlayani segala hajatmu/yang melampaui semesta/senantiasa terlunta-lunta.. adakah hajat yang melampui semesta? Metafora untuk apakah itu? Lalu kenapa pula hajat yang melampaui itu diteruskan dengan senantiasa terlunta-lunta? Ah, kok begini, penyairku?

Bobby Efri
Aktivis Siklusitu

Mempersoalkan Kembali (Cara Saya Mempermasalahkan) Jargon Keagamaan, Metafora, Antonimi, dan Deiksis dalam Puisi Ruhi A. Effendi

Ketika saya mulai menulis ulasan puisi ini, saya terbentur pada persoalan utama yang menghantui diskusi SIKLUSITU beberapa minggu belakangan ini. Dalam rangkaian diskusi tersebut, pengertian puisi tidak pernah disepakati, sehingga muncul beragam spekulasi tentang pengertian puisi sebenarnya, misalnya puisi adaah ungkapan jiwa seorang penyair permainan makna yang ditentukan oleh “ kehadiran” dan yang paling kontroversial adalah kedudukan puisi sebagai akronim. Dalam pada itu, untuk dapat menganalisis puisi ini dengan baik (terpuji, bukan benar!), saya mencoba untuk menyimpulkan sendiri puisi yang terus dipertentangkan itu.

Puisi, menurut saya merupakan sejenis bahasa, baik dalam arti lisan maupun tulisan, yang tidak sepenuhnya sama dengan yang kita pahami sebagai bahasa sehari-hari. Tujuan kita dalam bahasa sehari-hari terletak pada fungsi utamanya sebagai medium komunikasi (mengkomunikasikan gagasan), sedangkan tujuan kita mencipta[1] puisi, setidaknya, terletak di antara dua kubu yang saling bersitegang yaitu: pertama, mencipta puisi berkaitan erat dengan fungsi yang juga kita dapati dalam penggunaan bahasa sehari-hari, yaitu mengkomunikasikan gagasan dan kedua, mencipta puisi juga berkaitan erat dengan puisi bagi dirinya sendiri, yaitu menciptakan sisi estetisnya.

Atas dasar itu, saya mencoba untuk menganalisi puisi. Ruhi A. Effendy melalui berbagai tahapan.[2] Pertama, dengan sekali membacanya barangkali kita(?) dapat langsung melihat bahwa dalam puisi Ruhi banyak terdapat penggunaan jargon keagamaan, misalnya kiamat, malaikat, Rabb, -Mu, Kawtsar, Al-Hallaj, Al-Haqq, Hasan Bashri, Sufyan ats-Tsawry, Rabi ah, Ramadhan, Syawal, Allahu Akbar, Iblis, Tuhan, istiqamah, dan fitrah; metafora, misalnya mataku kemarau, hujani aku dengan kasihmu, bunga kasih, awan hitam menyelimuti, dan hujan menghujamku; antonimi, misalnya mernpertentangkan antara Tuhan dengan hamba, panas dengan hujan, dan kalah dengan menang; dan deiksis, misalnya aku, kamu, dan dia.

Kedua, berdasarkan pemahaman ini saya ingin langsung, bersentuhan dengan apa yang menjadi pokok pertama (puisi sebagai medium komunikasi) dalam ulasan ini. Pertanyaannya adalah, dari keempat kebiasaan yang digunakan penulisnya (jargon keagamaan, metafora, dan antonuni), apa tujuannya dan efektifkah la sebagai unsur yang mengemban fungsi komunikasi? Dari sini saya melakukan pembahasan dengan memperlakukan keempat unsur tersebut sebagai kesatuan. Berkaitan dengan ini, saya hendak melihat apa yang dilakukan oleh Ruhi


[1] Sebagai sastrawan yang baik hati, saya menggunakan istilah mencipta sebagai bentuk yang lebih akomodatif terhadap sastrawan lain yang memperlakukan puisi dalam wilayah "membacakan" puisi: puisi adalah peristiwa yang hidup (hadir)

[2] Karena keterbatasan waktu dan juga dana, akibat meningkatnya harga kertas, tinta print, dan juga TDL, tidak seluruh isi puisi dapat saya bahas di sini

Makyun Subuki
sastrawan terbaik siklusitu

Monday, January 15, 2007

Yang estetik yang tematik - beberapa komentar tentang penyair Yetus -

Hasutan Pembuka

Belajar menganalisis suatu karya sastra apalagi mengkritisinya adalah belajar mencurigai!!! (silahkan menderita bagi orang yang mempunyai bangunan negatif di kepalanya tentang kata tsb.). Ketika saya diberi kehormatan untuk menjadi analis acara dwi mingguan SIKLUSITU oleh Yetus, langsung di benak saya terbayang apa dan siapa yang menjadi suspect (he ...he...biar kaya pengidap flu burung), evidence atau petunjuk apa saja yang bisa menjadi penguat tesis saya, motifnya apa dan modusnya bagaimana. Saya tiba-tiba mendapati diri saya berubah dari seorang mahasiswa Fakultas Sastra meniadi seorang detektif yang sedang mengolah TKP atau seperti Robert Langdon, simbolog dalam Da Vinci Codenya Dan Brown yang mendapati puisinya Yetus mengganggu nalar dan membubarkan tongkrongan.

Sebagai seorang detektif ada banyak hal yang harus saya deteksi dari beberapa puisi karya Yetus yang akan dideklamasikan oleh beberapa penyair pada malam ini. Apalagi hasil dari penyelidikan saya akan menjadi semacam pijakan alternatif bagi kawan-kawan sesama detektif yang tentunya punya pisau bedah masing-masing yang tersendiri dan unik (juga kadang sedikit sakit). Oleh karenanya penulis berharap tulisan ini bisa sedikit membantu.

Kerangka Hasutan

Puisi sebagai sebuah bentuk penulisan selalu mempunyai dua sisi untuk dikaji. Intrinsik dan ekstrinsik. Kedua hal tersebut bagaikan Layla dan Majnun, yang satu tidak akan jadi gila kalau tidak karena yang lainnya sebagaimana yang lainnya tidak akan jadi tukang begadang tiap malam kalau bukan karena si gila. Atau juga bagaikan permen Sugus yang tak bisa dipisahkan antara isi dan kemasannya. Atau seperti menurut alm. Penyair Hamid Jabar sebagai segi tematik dan estetiknya.

Segi intrinsik yang mencakup rhytm, rhym, point of view dan persona, juga tone, struktur kalimat, pilihan kata, majas, dan kiasannya sebisa mungkin akan dibahas tanpa mengurangi porsi pembahasan segi ekstrinsiknya yang mencakup tema, topik, ide, dan segudang tetek bengek lainnya yang masih punya silsilah dengan hal tersebut. Begitupun sebaliknya segi ekstrinsik akan dibahas tanpa melupakan segi intrinsiknya, seperti Majnun dan Layla yang tidak saling melupakan (he ...he...).

Isi Hasutan

Kali pertama saya bertemu Yetus, sekitar 3 tahun yang lalu yang kebetulan medianya SIKLUSITU, saya tidak menyangka bahwa yang saya temui adalah seorang penyair yang sangat potensial. Siapa yang sangka kalau ia yang biasa memakai jaket Levi's dekil yang entah sudah berapa bulan belum bertemu air dan sering mengeluarkan ide seenak perutnya dewe' punya segudang puisi berbobot bahkan punya beberapa puisi cinta yang membuat para gadis yang membacanya langsung bergetar dan goyah bagai dilanda gempa 8,9 skala Richter. Beberapa sajaknya yang disajikan pada malam ini adalah bukti .....

Hafas Barbahar
"Pembunuh Penyair"

MENABUH KATA-KATA VULGAR DI TENGAH HIRUK PIKUK ZAMAN

[Awalan; sebuah pijakan]

Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, ditengah hingar bingarnya perhelatan sepak bola dunia kita masih saja dapat duduk di dalam lingkaran SIKLUSITU ini untuk sejenak melupakan riuh rendahnya tepukan para penonton sepak bola; malam Minggu pula, guna berdiskusi mengenai puisi: Mati di Kultus, karya I. G Windiaz.

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra, tidak hanya terdiri dari sebarisan kata-kata yang diikat dalam kalimat yang memiliki aturan gramatikal. Tapi lebih dari itu ia memiliki bunyi, ruh serta pengabadian dari memori yang dialami oleh penyairnya. Puisi adalah pengabadian dari memori sang penyairnya, oleh karena itu puisi pastilah mewakili masa dan zamannya sendiri. Proses pentransferan dari bentuk memori kepada bentuk kata-kata selalu saja menempatkan si penggarang sebagai algojo dalam pemilihan kata yang ia anggap dapat mewakili memorinya. Kata - kata yang telah lulus pemilihan ini memiliki bunyi dan pasti berkolokasi dengan objek memori yang yang mewakilinya. Sebagai contoh, ketika penggarang mengalami jatuh cinta maka ia akan lebih memilih untuk memakai kata-kata hatiku tiba-tiba berbunga-bunga ketika mataku menangkap parasmu, kata berbunga-bunga di sini memiliki bunyi yang ketika dibacakan dengan lantang tertangkap telinga mengisyaratkan kebahagiaan. Proses penciptaan puisi inilah yang akhirnya bukan suatu proses abracadabra tapi sudah mengalami proses pengendapan di dalam batin si penyair yang pada gilirannya akan lahir melalui media kata-kata. Karena peran penyair dalam proses penciptaan puisi sangatlah berpengaruh maka telaah puisi juga harus melihat si penyair sebagai titik awal penjelajahannya; walaupun ada pendapat yang mengungkapkan bahwa "ketika puisi dilempar kepada khalayak ramai, maka matilah sang penyair". Tapi tetap saja puisi itu pastilah representasi dari si penyairnya dan hal ini bukanlah sebuah legitimasi untuk melupakan si penyair sebagai seorang ibu yang sah dari karya yang telah dilahirkannya. Landasan itulah yang penulis pilih kali ini untuk menjadi garis tebal pembahasan puisi ini. Walaupun masih banyak pendekatan lainnya yang dapat digunakan untuk menelaah sebuah puisi.

[Pembahasan; bunyi-bunyian kasar yang harmonis]

Membincangkan puisi karya I. G Windiaz, sepertinya kita diajak untuk menonton sebuah pertujukan orkestra. Karena dalam karyanya sarat sekali dengan bunyi-bunyian dari kata-kata yang dipilihnya. Tampaknya ia sadar betul bahwa puisi tidak hanya selesai ketika ia selesai ditulis, namun ia masih berlanjut ketika puisi itu dibacakan. Atas dasar itulah, sang penyair sangat selektif dalam diksi yang dipilihnya. Atas pengabdiannya kepada sisi pertunjukan inilah puisi karya I. G Windiaz sangat berpatok pada bunyi yang akan dihasilkan dari

[Oleh : Purwo Sasmito]
aktivis siklusitu