Wednesday, January 17, 2007

Kok Begini Penyairku?

Baiklah tak perlu kiranya saya berlama-lama membuka catatan ini. saya membaca delapan puisi karya Apoet Duba. Lima puisi pendek dan tiga agal panjang. Delapan puisi, sebuah jumlah yang tak sedikit, tapi entah mengapa hanya sedikit yang mampir di kepala saya.

Sebagai pembaca dengan segudang ekspektasi di kepala, maklum saya sudah semester 12, saya tak mendapatkan apa-apa dari delapan puisi Apoet Duba. Sesuatu yang tak sehat sebenarnya karena yang saya kejar awalnay memang hanya impresi. Sebagaimana saya mengedarkan pandangan ke deretan kaset film di Video Ezy mencari film yang menarik entah karena judul, nama pemeran, atau tanda bintang empatyang menandakan bahwa film itu bagus. Tapi impresi awal yang saya cari dari sebuah puisi sebanarnya seragam, yakni ritme.

Kata-kata adalah ujaran pada akhirnya. Karena dia ujaran maka dia menjadi bunyi, dan bunyi adalah pembentuk ritme atau irama yang utama. Tradisi puisi Indonesia dibentuk oleh ritme ini, dengan sajak ab-ab atau aa-bb yang terkenal itu. Sebuah teknik yang menyiasati keterbatasan manusia karena tak berakarnya tradisi tulis di sini. Ketika sebuah sajak dikumandangkan maka ia lepas di udara, dan kita kemudian tak mudah lagi melacaknya. Maka sajak dibuat berirama bunyinya agar kepala lebih mudah mengingatnya.

Apoet tak memakai teknik kuno ini dalam sajaknya karena ia adalah anak zaman baru dengan tradisi puisi yang baru pula. Saya kutip satu sajaknya: “berbilang deru/ menyeru malam/ siapa yang pantas/ dimanja.” Tak ada rima dari zaman lampau itu. Dan tentu, tak fair jika membandingkan puisinya ke sana. Namun bukan hanya karena itu saya melihat ritme dari puisi. Ritme dapat tercipta-dan ini lebih mencekam- dari makna kata yang menjalin menjadi lirik, lalu menjadi baik dan akhirnya menjadi puisi. Tapi saya mohon maaf karena dengan konsep ini pun ritme itu tak tercipta.

Say curiga, bahkan sangat curiga, bahwa kata-kata tak sepenuhnya “tergenggam” oleh Apoet. Kata “seru” dalam puisi di atas adalah kata yang menjadi polpuler karena Chairil Anwar. Kata itu muncul dari kenyataan di zaman revolusi yang bergemuruh, tahun 40-an. Karenanya kata itu tergenggam erat oleh Chairil dan -;ewat ungkapan yang menjadi klise- menjadi hidup. lalu apa “deru” buat apoet? Dan mengapa pula Apoet memakai itu untuk membuat kontras bagi sebuah pertanyaan tentang “ siapa yang pantas dimanja?” ah, poet … saya tak menemukan ritme di situ.

Juga kata “setakar” di puisi dengan judul Kalut, dalam larik: …. menjelmalah aku/setakar kalut/yang tak jera-jera…” kata-kata ini epas dari ritme karena terdengar genit dan mengada-ada. Ia lepas, tak tergenggam, tak “dimiliki” penyairnya. Ia hanya kata yang asal palai karena sebuah aksi pencurian. Akan lebih berharga kalau dikatak “seporsi kalut”, atau apapun yang lebih pantas dan wajar. Kasusu ini juga mencolok pada sajak “kepada kawan” lewat kata-kata, menyekam, diraya, menyayat….

Ritme juga acak-acakan pada jalinan kalimat puisi “mampirlah”. Saya kutip kalimatnya: …kau sungguh akan senang/betapa pilunya aku …., dan betapa tulusnya aku/menlayani segala hajatmu/yang melampaui semesta/senantiasa terlunta-lunta.. adakah hajat yang melampui semesta? Metafora untuk apakah itu? Lalu kenapa pula hajat yang melampaui itu diteruskan dengan senantiasa terlunta-lunta? Ah, kok begini, penyairku?

Bobby Efri
Aktivis Siklusitu

No comments: