Ketika saya mulai menulis ulasan puisi ini, saya terbentur pada persoalan utama yang menghantui diskusi SIKLUSITU beberapa minggu belakangan ini. Dalam rangkaian diskusi tersebut, pengertian puisi tidak pernah disepakati, sehingga muncul beragam spekulasi tentang pengertian puisi sebenarnya, misalnya puisi adaah ungkapan jiwa seorang penyair permainan makna yang ditentukan oleh “ kehadiran” dan yang paling kontroversial adalah kedudukan puisi sebagai akronim. Dalam pada itu, untuk dapat menganalisis puisi ini dengan baik (terpuji, bukan benar!), saya mencoba untuk menyimpulkan sendiri puisi yang terus dipertentangkan itu.
Puisi, menurut saya merupakan sejenis bahasa, baik dalam arti lisan maupun tulisan, yang tidak sepenuhnya sama dengan yang kita pahami sebagai bahasa sehari-hari. Tujuan kita dalam bahasa sehari-hari terletak pada fungsi utamanya sebagai medium komunikasi (mengkomunikasikan gagasan), sedangkan tujuan kita mencipta[1] puisi, setidaknya, terletak di antara dua kubu yang saling bersitegang yaitu: pertama, mencipta puisi berkaitan erat dengan fungsi yang juga kita dapati dalam penggunaan bahasa sehari-hari, yaitu mengkomunikasikan gagasan dan kedua, mencipta puisi juga berkaitan erat dengan puisi bagi dirinya sendiri, yaitu menciptakan sisi estetisnya.
Atas dasar itu, saya mencoba untuk menganalisi puisi. Ruhi A. Effendy melalui berbagai tahapan.[2] Pertama, dengan sekali membacanya barangkali kita(?) dapat langsung melihat bahwa dalam puisi Ruhi banyak terdapat penggunaan jargon keagamaan, misalnya kiamat, malaikat, Rabb, -Mu, Kawtsar, Al-Hallaj, Al-Haqq, Hasan Bashri, Sufyan ats-Tsawry, Rabi ah, Ramadhan, Syawal, Allahu Akbar, Iblis, Tuhan, istiqamah, dan fitrah; metafora, misalnya mataku kemarau, hujani aku dengan kasihmu, bunga kasih, awan hitam menyelimuti, dan hujan menghujamku; antonimi, misalnya mernpertentangkan antara Tuhan dengan hamba, panas dengan hujan, dan kalah dengan menang; dan deiksis, misalnya aku, kamu, dan dia.
[1] Sebagai sastrawan yang baik hati, saya menggunakan istilah mencipta sebagai bentuk yang lebih akomodatif terhadap sastrawan lain yang memperlakukan puisi dalam wilayah "membacakan" puisi: puisi adalah peristiwa yang hidup (hadir)
[2] Karena keterbatasan waktu dan juga dana, akibat meningkatnya harga kertas, tinta print, dan juga TDL, tidak seluruh isi puisi dapat saya bahas di sini
Makyun Subukisastrawan terbaik siklusitu
No comments:
Post a Comment