Monday, January 15, 2007

MENABUH KATA-KATA VULGAR DI TENGAH HIRUK PIKUK ZAMAN

[Awalan; sebuah pijakan]

Pada kesempatan yang sangat berbahagia ini, ditengah hingar bingarnya perhelatan sepak bola dunia kita masih saja dapat duduk di dalam lingkaran SIKLUSITU ini untuk sejenak melupakan riuh rendahnya tepukan para penonton sepak bola; malam Minggu pula, guna berdiskusi mengenai puisi: Mati di Kultus, karya I. G Windiaz.

Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra, tidak hanya terdiri dari sebarisan kata-kata yang diikat dalam kalimat yang memiliki aturan gramatikal. Tapi lebih dari itu ia memiliki bunyi, ruh serta pengabadian dari memori yang dialami oleh penyairnya. Puisi adalah pengabadian dari memori sang penyairnya, oleh karena itu puisi pastilah mewakili masa dan zamannya sendiri. Proses pentransferan dari bentuk memori kepada bentuk kata-kata selalu saja menempatkan si penggarang sebagai algojo dalam pemilihan kata yang ia anggap dapat mewakili memorinya. Kata - kata yang telah lulus pemilihan ini memiliki bunyi dan pasti berkolokasi dengan objek memori yang yang mewakilinya. Sebagai contoh, ketika penggarang mengalami jatuh cinta maka ia akan lebih memilih untuk memakai kata-kata hatiku tiba-tiba berbunga-bunga ketika mataku menangkap parasmu, kata berbunga-bunga di sini memiliki bunyi yang ketika dibacakan dengan lantang tertangkap telinga mengisyaratkan kebahagiaan. Proses penciptaan puisi inilah yang akhirnya bukan suatu proses abracadabra tapi sudah mengalami proses pengendapan di dalam batin si penyair yang pada gilirannya akan lahir melalui media kata-kata. Karena peran penyair dalam proses penciptaan puisi sangatlah berpengaruh maka telaah puisi juga harus melihat si penyair sebagai titik awal penjelajahannya; walaupun ada pendapat yang mengungkapkan bahwa "ketika puisi dilempar kepada khalayak ramai, maka matilah sang penyair". Tapi tetap saja puisi itu pastilah representasi dari si penyairnya dan hal ini bukanlah sebuah legitimasi untuk melupakan si penyair sebagai seorang ibu yang sah dari karya yang telah dilahirkannya. Landasan itulah yang penulis pilih kali ini untuk menjadi garis tebal pembahasan puisi ini. Walaupun masih banyak pendekatan lainnya yang dapat digunakan untuk menelaah sebuah puisi.

[Pembahasan; bunyi-bunyian kasar yang harmonis]

Membincangkan puisi karya I. G Windiaz, sepertinya kita diajak untuk menonton sebuah pertujukan orkestra. Karena dalam karyanya sarat sekali dengan bunyi-bunyian dari kata-kata yang dipilihnya. Tampaknya ia sadar betul bahwa puisi tidak hanya selesai ketika ia selesai ditulis, namun ia masih berlanjut ketika puisi itu dibacakan. Atas dasar itulah, sang penyair sangat selektif dalam diksi yang dipilihnya. Atas pengabdiannya kepada sisi pertunjukan inilah puisi karya I. G Windiaz sangat berpatok pada bunyi yang akan dihasilkan dari

[Oleh : Purwo Sasmito]
aktivis siklusitu

No comments: